Apa yang disebut dengan cinta? Apakah kita tahu apa cinta itu? Justru ketika kita merasa tahu apa cinta itu, di saat itulah kita sebenarnya tidak mengerti. Cinta tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan. Cinta tidak buta, namun bisa membuat orang buta. Cinta tidak dapat dipelajari, hanya dapat dialami. Kita tidak akan tahu apa itu cinta, sampai merasa sakit untuk kehilangannya. Alamilah cinta dan cinta akan membuat anda mengalaminya. Cinta membuat orang bersatu, cinta dapat pula membuat orang berpisah.
Kadang-kadang, cinta bisa jadi sangat membingungkan. Terkadang kita ingin terus bersama dengan orang yang kita cintai. Ingin bersama, lepas dari orang lain yang ada di sekitar kita. Tetapi, hidup membuat kita tidak bisa mengesampingkan mereka yang selama ini ada di sekitar kita. Justru pertemuan dengan mereka dapat membuat cinta belajar. Persimpangan kehidupan dapat memperkokoh atau melemahkan cinta.
Jaring-jaring kehidupan yang membentuk dua sosok yang berbeda dapat mempertemukan mereka dalam sebuah kisah cinta. Tidak jarang, kisah cinta tersebut harus mengoyakkan diri, bukan karena jaring mereka tidak bisa menyatu, melainkan karena perbedaan dari lingkungan di mana mereka berdiri. Cinta tidak selamanya bisa bersatu. Cinta bisa dirasakan, namun bukan untuk dimiliki.
Kisah cinta yang dirajut di atas dasar yang kokoh, akan menjadi ikatan abadi. Namun, ada kalanya ikatan abadi itu harus memutuskan diri karena jarum, benang, dan sulaman yang dipakai akan roboh apabila rajutan tersebut tak terpisahkan lagi. Perbedaan yang dimiliki dua anak manusia membuat cinta hanya untuk dirasakan tetapi bukan untuk dimiliki.
Di saat seperti ini, lagunya John Lennon sepertinya sangat masuk akal. ‘Imagine there’s no heaven, and no religion too. Imagine there’s no country … imagine if you could…’ perbedaan yang tidak begitu besar namun mendasar… membuat cinta harus mengalah. Sanggupkah dua anak manusia yang saling mencinta untuk melepaskan kisahnya demi menjaga tembok-tembok yang ada di sekitarnya untuk tidak runtuh? Apa yang terjadi dengan percintaan yang ditentang oleh semua orang? Apakah yang terjadi dengan cinta? Kata siapa cinta bisa mengalahkan segalanya?
Sekarang, cinta harus mengalah demi cinta yang lain. Kenapa kepentingan orang banyak harus selalu didahulukan? Kenapa prinsip utilitarian harus mengalahkan intuisionis? Apakah kepentingan orang banyak harus membuat cinta mengalah? Kalau begitu apa sebenarnya cinta itu? Apakah cinta hanya dirasakan oleh dua insan yang merasakannya, atau mereka harus merelakan cintanya demi cinta-cinta lain yang ada di sekeliling mereka, yang membuat mereka harus kehilangan cintanya? Kenapa cinta bisa berbuat seperti itu? Apakah memang ada cinta yang tak boleh memiliki, dan ada cinta yang berakhir dengan bahagia selamanya? Kenapa cinta bisa seperti itu? Siapa yang mengontrol cinta? Siapa yang boleh menentukan cinta mana yang boleh berakhir bahagia dan mana yang tidak? Kenapa mereka diijinkan mengalami cinta kalau mereka memang tidak akan memilikinya? Kenapa?
Minggu, 31 Januari 2010
What is the Love?
Diposting oleh PhantomSummoner di 13.09 0 komentar
Label: What is The Love?
Pengorbanan Seorang Adik
Cerita ini saya dapatkan pagi tadi, tak disangka ini diambil dari sebuah kisah nyata. Pada abad ini, masih ada orang yang begitu memikirkan orang lain...
Kisah ini mungkin saja terjadi dalam hidup anda..
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari
demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung
mereka menghadap ke langit.
Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di
sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari
laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu
takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya! “
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau
kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,
“Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi
yang akan kamu lakukan di masa
mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di
pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai
menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya
dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah
terjadi.” Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat,tapi insiden
tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan
lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8
tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima
untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok
di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi
bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan
hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air
matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
“Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,telah cukup membaca
banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan
memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu
keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu
kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku
yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke
universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi,
aku akhirnya sampai ke tahun ketiga
(di universitas) . Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika
teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana!”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar,
dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu
semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada
teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu
saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? ” Aku merasa
terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari
adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak
perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah
adikku bagaimana pun penampilanmu. ..”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
“Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah
adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu
melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela
baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.
“Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu
tidak menghentikanku bekerja dan…”
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu
harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak,
jagalah mertuamu saja.
Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya,
saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
“Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti
itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun
itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani
dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu
bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa
bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada
dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua
jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang
begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu,
saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.”
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Semoga Bermanfaat,
Diposting oleh PhantomSummoner di 12.55 0 komentar
Label: Pengorbanan Seorang Adik
Cinta itu Menerima...
Kisah ini saya ambil dari sumber lain, sebuah cerita dimana seorang wanita belajar untuk dicintai suaminya...
Semoga dapat bermanfaat dan menyadarkan kita semua tentang arti cinta...
Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau
marah dia cenderung diam dan pergi kekantornya bekerja sampai subuh,
baru pulang kerumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah.
Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia
workaholic. Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi
menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itupun kalau aku masih
bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir,
memang dia tidak romantis, dan tidak memerlukan hal2 seperti itu
sebagai ungkapan sayang.
Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang
pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluarpun hampir tidak
pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri
dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting
piring yang beradu dengan sendok garpu.
Kalau hari libur, dia lebih sering hanya
tiduran dikamar, atau main dengan anak2 kami, dia jarang sekali
tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang
tidak suka tertawa lepas.
Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja
selama 8 tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, disuatu hari
yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit dirumah sakit, karena
jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan dirumah,
dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi
perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan
datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha,
temannya Mario saat dulu kuliah.
Meisha tidak secantik aku, dia begitu
sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik
seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan
penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan2 waktu berhenti berputar
dan terpana dengan kalimat2nya yang ringan dan penuh pesona. Setiap
orang, laki2 maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat,
akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.
Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario
selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam,
sehingga jarang punya teman yang akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu,
karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha
yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang
membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.
Aku mulai mengingat2 5 bulan lalu ada
perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia
tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari
3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas.
Tapi disaat lain, dia sering termenung didepan komputernya. Atau
termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan
yang membingungkan.
Suatu saat Meisha pernah datang pada saat
Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring
nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau
aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,
” Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu
yang nomor satu ini ? tidak mau makan juga? uhh… dasar anak nakal,
sini piringnya, ” lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil
menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya.
Dan….aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar
dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku
yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun !
Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika
dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan
berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi
caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit,
ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah
payah. Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang kerumah
saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit
ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.
Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap
melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba2,
membawakan donat buat anak2, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia
mengajakku jalan2, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang
bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2.
Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku
mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun
aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti
jakarta , aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung, bahkan
gerimis kemudian.
Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik
berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti
ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papa nya, dan
memanggilku, ” Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha ?”
Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat
elektronik itu,
Dear
Meisha,
Kehadiranmu
bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku
tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku
mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya,
karena dia ibu dari anak2ku.
Ketika
aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2
mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku
memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika
aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya.
Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya
kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah
perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap
terasa hampa, meskipun aku menikahinya.
Aku
tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti
ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin
yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya.
Seperti pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta
disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku
rasakan.
Aku
tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik
orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen
pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa,
asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan
segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan
seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang
hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita,
aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my
heart.
yours,
[i]
Mario[/i]
Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku
memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat
jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.
Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak
pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.
Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku
menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan
diamplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan
untuknya.
Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan
padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang
belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput
anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja
dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam
kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu
lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia
memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.
Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia
tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih
sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia
tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai
daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku.
Betapa malangnya nasibku.
Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap
merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus
didalam hatinya. Dengan pura2 tidak tahu, aku sudah membuatnya
bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah
kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.
**********
Setahun kemudian…
Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air
mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih
dipenuhi bunga.
” Mario, suamiku….
Aku
tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja
dikantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona
padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika
aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu
posesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu
asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa diatas angin,
ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku… Aku pikir, aku si
puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang
hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja
untukku…..
Ternyata
aku keliru…. aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita.
Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor
dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.
Aku
melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, ” kenapa, Rima ?
Kenapa kamu mesti cemburu ? dia sudah menikah, dan aku sudah
memilihmu menjadi istriku ?”
Aku
tidak perduli,dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.
Sekarang
aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia
bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku
bukanlah wanita yang sempurna yang engkau
inginkan.
Istrimu,
Rima”
Di
surat yang lain,
[i]
“………Kehadiran
perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es..
Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat
cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang
penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang
Meisha……”[/i]
Disurat yang kesekian,
“…….Aku
bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.
Aku
telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2 padamu,
aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku
belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku
tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka
bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang
kerumah. Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah
kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku
tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai
tertidur disamping tempat tidurmu, dirumah sakit saat engkau dirawat,
karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah…….
[i]
Meskipun
belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap
berusaha dan menantinya……..”[/i]
Meisha menghapus air mata yang terus mengalir
dari kedua mata indahnya… dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu
disampingnya.
Disurat terakhir, pagi ini…
“…………..Hari
ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu
engkau tidak pulang kerumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu
pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedu
nia . Kemarin aku belajar membuatnya dirumah Bude Tati, sampai
kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali,
dan aku hanya mengendarai motor.
Saat
aku tiba dirumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran
dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya
tidak sakit.
Tahukah
engkau suamiku,
[i]
Selama
hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9
tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu
dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?………”[/i]
Jelita menatap Meisha, dan bercerita,
” Siang itu Mama menjemputku dengan
motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus
melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah
yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik.
Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya.
Mama memarkir motornya diseberang jalan, Ketika mama menyeberang
jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi……
aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante….. aku melihatnya
masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak……” Jelita
memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil
untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.
Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia
print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan
tadinya aku ingin Rima membacanya.
Dear
Meisha,
Selama
setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2
dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan
tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan
memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki
dia. Hatiku mulai bergetar…. Inikah tanda2 aku mulai mencintainya
?
[i]
Aku
terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan
besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan
mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana.
Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku….[/i]
Meisha menatap Mario yang tampak semakin
ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Diwajahnya tampak
duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario. [i]Kadang
kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah
pergi meninggalkan kita.[/i]
Diposting oleh PhantomSummoner di 12.44 0 komentar
Label: Cinta Itu Menerima...